Cicibugil.blogspot.com - Adalah Martin seorang pria lajang asli banyumas yang berprofesi sebagai seorang penarik gerobak sayur disebuah pasar tradisional dibilangan jakarta selatan.
Berperawakan sedang ukuran rata-rata, tinggi tidak, pendek tidak, jelek nggak, cakeppun ngga, kulit sawo matang cenderung hitam agak berminyak, karena profesi sebagai penarik gerobak postur tubuh menjadi ideal tanpa fitness, maklum seorang penerik gerobak lebih banyak menggunaka otot ketimbang otak, sehingga secara tidak sengaja otot akan terbangun dengan sendirinya.
NONTON BOKEP ONLINE
Jam kerja Martin jam 3 sore hingga jam 12 malam melayani para pedagang-pedagang pasar membawa barang dagangan atau pembeli membawa pulang barang belanjaan. Dari sekian banyak langganan Martin ada seorang pedagang sayuran dan bumbu dapur bernama Yunita yang begitu dekat dengan Martin karena kebetulan pangkalan gerobak Martin berada didepan counter atau tepatnya lapak dagangan mbok Yunita. Hubungan bisnis mereka tergolong dekat sampai-sampai pembayaran ongkos gerobak dibayar bulan oleh mbok Yunita.
BANDAR BOLA TERPERCAYA
Mbok Yunita berasal dari salah satu desa di indramayu, kulitnya hitam berwajah manis, dengan tinggi sedang tetapi memiliki sepasang buahdada ideal yang sering membuat mas Martin melihat dengan sudut matanya, ukuran cukup mantap sekitar 34 atau 35. Telah bersuami bernama mas tarsica yang tinggal dikampung mengurus sawah dan bebek hasil berjualan Yunita di kota. Yunita pun menyadari kalau Martin sering melirik kepadanya, tetapi dia tidak begitu mempedulikan bahkan cenderung semakin berani mengekspos bagian-bagian tubuhnya yang dapat mengundang hasrat birahi Martin, malah kadang tatapan Martin dan Yunita seringkali bertemu yang akhirnya mereka saling senyum tanpa mengerti arti kejadian tersebut.
Pada suatu pagi Martin mendapat telpon dari pamannya di kampung yang mengabarkan bahwa bude Sakem membutuhkan biaya untuk berobat karena sakit. Bude Sakem adalah orang yang menbesarkan Martin ketiga dia ditinggal oleh orang tuanya transmigrasi ke Lampung. Martin memang dekat dengan budenya yang satunya ini karena ia ingin membalas jasa budenya. Martin bingung karena saat ini ia tidak memiliki uang. Uang dikantong hanya cukup untuk makan nanti siang.
Dalam kebingunganya Martin teringat relasinya dipasar yah Yunita, ia akan mencoba meminjam uang kepadanya, atau paling tidak ia mencoba meminta bayaran gerobak dimuka sehingga ia dapat segera mengirim uang tersebut kebudenya yang sedang sakit di kampung. Bergegas ia menuju rumah petakan Yunita yang terletak di belakang pasar tempat ia berdagang. Kontrakan Yunita merupakan rumah petakan kumuh terbuat dari tripleks dan dicet apadanya, rapat dan berhimpatan satu dengan lainnya. Petakan ini memang kebanyakan dihuni oleh sesama pedagang dipasar.
Tidak berapa lama Martin tiba dipetakan Yunita, suasana petakan sepi karena jam segini sekitar jam 9 sampai jam 11 kebanyakan penghuni pergi ke pasar induk kramat jati untuk membeli barang dagangan. ceritasexdewasa.org Martin sedikit cemas, jangan-jangan Yunita juga pergi belanja ke pasar induk. Dengan ragu-ragu Martin mencoba mengetuk pintu petakan Yunita, sepi tidak terdengar jawaban, kembali Martin menjadi ragu apakah Yunita ada di petakan. Ia kembali mencoba mengetuk pintu, tidak juga ada jawaban, ketika Martin mulai merasa putus asa, terdengar suara penghuni sebelah petakan, seorang nenek tua, ibu dari seorang pedagang di pasar yang juga Martin kenal mengatakan bahwa Yunita sedang mandi di MCK dekat musola sekitar 25 meter dari petakan Yunita.
”Tunggu aja di dalam mas, mbak Yunita sebentar lagi juga selesai” ujar nenek tetangga Yunita.
”Baik nek, tak tunggu disini aja” jawab Martin dengan logat jawanya yang dihaluskan karena menghormati nenek.
Dengan perasaan galau Martin menunggu Yunita, tidak begitu lama Martin menunggu terlihat Yunita tergopong berjalan setengah berlari sambil menutupi bagian dadanya yang nampak tercetak dua bukit kembar karena Yunita tidak menggunakan handuk melainkan menggunakan daster tidurnya yang telah tipis apalagi setengah basah kena air ketika ia mandi di MCK tadi.
”Weh ada mas Martin, ada apa mas tumben kesini, ada perlu sama aku” Yunita nyerocos sambil tetap bejalan menuju pintu petakannya
”Ya.. mbak.. aku ada perlu nih” Yunita menyuruh Martin masuk kepetakannya, karena ia tidak enak bicara diluar, ia berpikir tidak mungkin mas Martin pagi-pagi begini kepetakannya kalau tidak ada perlu apalagi Yunita melihat wajah Martin tampak sedih.
”Ada apa Mas, sepertinya lagi sedih nih” tanya Yunita
”Aku butuh uang Mbak budeku dikampung sakit, beliau minta aku mengirim uang untuk biaya berobat”, mata Martin tidak lepas dari cetakan dada yang amat jelas didada Yunita.
Dasar, wong lagi bingung kok matanya tetap ke ”susuku” pikir Yunita.
”Sakit apa” Yunita mencoba menyakinkan, dengan tidak berusaha lagi menutupi cetakan susunya seperti tadi saat ini berlari dari MCK menuju petakannya.
Pikirnya toh mas Martin sering juga menatapnya pada saat ini berdagang.
”Saya nggak tau, tapi mereka meminta saya mengirim uang untuk berobat, mba boleh saya minta bayaran gerobak untuk bulan depan mbak” dengan setengah menunduk Martin mengungkapkan maksudnya kepada Yunita.
”Mas Martin butuh berapa” tanya Yunita
”Ya sejumlah bayaran upah saya aja, mba, 185 ribu” jawab Martin dengan masih tetap menunduk.
”Sebentar ya mas” Yunita beranjak ke balik hordeng biliknya, entah apa yang akan dilakukan Martin bertanya-tanya
Sejenak Martin dapat menilik benda-benda yang ada di petakan Yunita, sebuah termos, 2 buah gelas kaca yang sudah tidak bening lagi, sebuah kasur butut dan radio kecil serta sebuah changer hp masih menempel di stop kontak. Dan apa itu, sebuah BH dan celana dalam yang rendanya mulai terurai benangnya milik Yunita tergantung di jemuran di dalam petakan, mungkin malu kalau di jemur di luar. Martin mengenali BH tersebut karena sering digunakan oleh Yunita.
”Ini mas 200 ribu, aku buletin uangnya, sekalian aku membantu mas yang lagi ketimpa musibah, mudah-mudahnya bude Sakem cepat sembuh” suara Yunita mengejutkan Martin yang sedang browsing sekitang petakan Yunita.
”Aduh terima kasih mbak” mata Martin bersinar-sinar karena Yunita berkenan menolongnya.
”Uang ini saya titipkan pada Herianto, tukang ketoprak tetangga kampungku yang kebetulan nanti sore akan pulang kampung”.
”Ya sudah cepat sana, nanti keburu Herianto tidak ada” ucap Yunita
”Tanpa ba-bi-bu Martin segera kerumah Herianto, situkang ketoprak yang akan pulang kampung.
”Yan… ini aku titip buat bude Sakem yang sedang sakit 190 ribu rupiah, yang 10 ribu untuk nambahin ongkos kamu, sekalian salam dan katakan aku belum bisa pulang ”
Adalah menjadi kebiasaan dilingkungan Martin, saling menitip uang apabila ada seorang kerabat, tetangga kampung atau teman yang akan pulang kampung. Martin juga telah beberapa kali dititipi oleh Herianto. Memang mereka tidak mengenal adanya transfer uang lewat bank.
”Baik nanti aku sampaikan To… wis kamu ndak usah bingung, semoga nggak ada apa-apa” ucap Herianto.
”Terima kasih To..hati-hati ya.” Martin berucap sambil permisi kepada sahabatnya yang telah berkenan menerim titipan uang darinya untuk bude yang sedang sakit dikampung.
Kembali terbayang wajah bude Sakem, wajah yang teduh dan rela mengurus dan menganggapnya sebagai anak, wajah yang penuh kedamaian. Bagiamana budenya mengajarnya setiap malam, bagaiamana budenya menemani saat ia makan, semua kembali terbayang. Tapi karena faktor usia, saat ini beliau sedang tergolek lemah di kampung.
Tiba-tiba ingatannya kembali ke Yunita, ia belum mengucapkan apapun kepadanya apalagi terima kasih setelah ia menjadi dewa penolong baginya. Martin kembali menuju petakan Yunita, untuk mengucapkan terima kasih atas pertolongan yang telah ia berikan.
Tidak berapa lama Martin telah tiba dimuka petakan Yunita, Martin langsung menyeruak masuk tanpa mengetuk lebih dulu. Terbelalak Martin melihat pemandangan yang nampak di dalam, saat itu Yunita sedang mengeringkan badannya dengan daster tipis sebagai pengganti handuk. Yunita hanya menggunakan handuk untuk menutupi kemaluannya, sedangkan dua buah bukit kembarnya tertutup BH warna putih cenderung sudah menjadi cream yang tampaknya tidak dapat menampung isinya. Martin tidak pernah membayangkan kalau payudara Yunita begitu indahnya besar, putih dan masih seperti orang belum bersuami, mungkin karena jarang disentuh oleh suaminya
Mereka berdua terkesima, Martin terbelalak menyaksikan pemandangan tersebut sedangkan Yunita hanya diam seribu basa karena tidak tau apa yang harus dilakukannya.
Tiba-tiba kedua mata mereka saling bertemu satu dengan yang lainnya, saling bertatapan dengan tetap tanpa suara, saat itu naluri sebagai manusia yang bicara, Martin mendekat sementara Yunita masih tetap diam tanpa bahasa, sementara bibir Martin mulai mendekat bahkan dekat sekali ke kening Yunita.
.
Yunita merasakan hembusan birahi Martin, akhirnya ia merasakan sebuah ciuman lembut mendarat dikeningnya, ia memejamkan mata tak tau harus menikmati atau apa yang harus dilakukan sementara, karena lembutnya kecupan Martin, birahinyapun mulai terusik, apalagi setelah kecupan Martin turun ke pipi kemudian terus turun menelusur hingga sampai pada bibirnya.
Hangat sekali kecupan Martin, kecupan yang memang telah lama tidak ia rasakan, lidah Martin lincah bermain di dalam mulutnya yang mau tidak mau mengundang hasratnya untuk melayani permainan lidah dan bibir Martin.
Tangan kanan Martin mulai menelusuri bagian belakang Yunita yang memang tidak terbungkus apa-apa hanya seutas tali BH yang masih menggantung disana, diusapnya lembut pinggung dan pantat Yunita, kemudian tangan kirinya mulai menelusur diperut Yunita sehingga menimbulkan sensasi yang tidak terkira bagi pemiliknya
Ehhhh…………..Yunita berguman menikmati usapan dan belaian serta kecupan bibir Martin, ditambah lagi tangan kiri Martin semakin mendekati dua bukit kembar miliknya yang masih terbungkus BH, sensasi yang dirasakan semakin nikmat. Tangan kanan Martin naik dari pantat menuju pengait tali BH Yunita dan dengan sentuhan halus, BH itu sudah terlepas dan meluncur turun sampai tertahan oleh handuk penutup kemaluan Yunita.
Tampaklah oleh Martin dua bukit kembar milik Yunita yang kini bebas menggantung tanpa penghalang. Martin semakin bersemangat dari semula mengusap, membelai kemudian kini sudah sampai pada tahap meremas, apa saja yang ia remas pantat, perut, pinggul hingga payudara Yunita tidak luput dari remasannya. Hal ini semakin memuat Yunita tidak berdaya, ia benar-benar dimabuk nafsu yang dibangkitkan oleh Martin seorang penarik gerobak langganannya. Ia tidak ingat lagi suaminya dikampung, ia lupa segalanya.
Sedikit demi sedikit Martin mendorong tubuh Yunita ke arah kasur butut milik Yunita yang hanya menurut saja oleh dorongan tubuh Martin hingga ia menurunkan tubuhnya dan duduk dikasur. Martin mengikuti gerakan Yunita menuju tempat tidur mulutnya kini bermain lincah memainkan puting susu Yunita. Seakan tidak puas hanya mengecup dan mengisapnya tanggan kirinyapun ikut membantu meremas-remas bukit kembar milik Yunita.
Dengan dorongan Martin kini tubuh Yunita sudah tergolek dikasur tanpa penutup dada hanya handuk yang tidak mampu lagi menutupi kemaluannya karena tersingkap oleh gesekan-gesekan tubuh mereka.
Kebiasaan Yunita, sehabis mandi ia hanya menggunakan handuk sebagai penutup barang miliknya yang paling berharga tanpa celana dalam, sedangkan bagian dada hanya dibungkus BH (mending BH-nya bagus). Kebiasaan berpakaian seperti ini kerap ia lakukan sambil beraktivitas di petakannya.
Kebiasaan seperti ini memudahkan Martin untuk melakukan aksinya. Kembali ia mengecup bibir Yunita yang memang sudah menunggu aksi Martin berikutnya. Gejolak birahi yang dirasakan segera menghempas segalanya. Statusnya sebagai istri dari Tarsica seorang petani dan pemelihara bebek di kampung tidak lagi ia ingat. Apalagi tangan kanan Martin mulai membuka handuk lusuh satu-satunya yang masih ia kenakan sebagai penutup kemaluannya.
Dengan sekali tarik, tampaklah oleh Martin kemaluan Yunita dihadapannya, rambut kemaluan yang tebal berwarna hitam tampak acak-acakan tak terawat menutupi bibis vagina milik Yunita. Pantulan cahaya matahari yang menerobos lewat celah dinding petakan Yunita membantu memberikan penerangan bagi Martin untuk sejenak mengamati kemaluan Yunita. Ia kagum dengan Yunita kemaluan Yunita yang tampak menonjol persis kue apem yang adonananya sempurna.
Yunita agak risik melihat Martin memandang vaginanya seperti hendak melihat seluruhnya, tak habis akal tangan Yunita mengapai tonjolan diselangkangan Martin yang memang sejak tadi menuntuk untuk dijamah, sejenak Martin terhenyak sejenak ketika tangan Yunita mendarat dikemaluannya, namun hal itu tidak terlalu lama, karena kenikmatan dan sensasi yang ia rasakan amatlah menghanyutkan, apalagi Yunita mulai mencoba memasukkan tangannya kedalam celana Martin. Martin tak sabar segera ia memelorotkan celana sekaligus CD-nya, agar kenikmatan yang ia rasakan semakin terasa. Kaos berlambang salah satu Caleg Partai tertentu yang ia gunakan juga tak luput ia lepaskan.
Tampaklah oleh Yunita tubuh hitam, kekar karena sering menarik gerobak sayur milik Martin mengkilap karena keringat dan torehan cahaya matahari. Belum hilang rasa kagum Yunita terhadap kekekaran tubuh Martin, ia merasakan sesuatu menyentuh kemaluannya, yah tangan Martin mulai mengusap rambut kemaluan Yunita yang tidak mengyangka bahwa seorang penarik gerobak mempunyai gaya bercinta yang romantis tidak seperti suaminya dikampung, cek-ecek-ecek sudah boro-boro ada pemanasan, terlalu terburu-buru, maklum katanya ia harus melihat aliran air disawah, apakah bendungan yang ia buat dapat mengalir keseluruh bagian sawahnya dengan sempurna. Jangankan orgasme bagi Yunita terkadang terangsang pun belum. Lain halnya dengan Martin yang rada sabaran dalam memacu birahinya.
Tidak puas hanya dengan membelai Martin mulai menusuk-nusukan jari manisnya kevagina Yunita yang telah basah oleh cairan birahinya, hangat dan licin yang dirasakan Martin. Ehh…ehh…Yunita meracau merasakan kenikmatan sentuhan tangan Martin ke dalam kelaminnya. Martin terus beraksi hingga ia tak tega melihat Yunita meracau tidak menentu, mengelengkan kepalanya kekanan dan kekiri karena nikmatnya, apalagi tangan Yunita beraksi dikemaluan Martin mulai tidak menentu kadang mengusap kadang menggosok kadang memencet.
Disamping itu birahi Martinpun telah meninggi, akhirnya entah siapa yang memulai Martin yang semangat menindih tubuh Yunita, atau Yunita yang tak sabar menarik tubuh Martin untuk segera menindih dan memasukkan alat kelaminnya kedalam kemaluannya. Tangan Yunita tetap dikemaluan Martin untuk segera membimbingnya menuju lubang vaginanya, Sejenak Martin menggosok-gosokkan kemaluan miliknya ke vagina Yunita.
Yunita mengangkat pantatnya tinggi-tinggi, Martin menusukkan kemaluannya… blesss…blesssssssssssss…Yunita menggit bibir merasakan kenikmatan kemaluan Martin meluncur kekemaluannya yang memang telah lama tidak dijamah oleh suaminya karena ia lama tak pulang kampung. Biasanya sebulan dua kali atau tiga kali ia pulang, tapi sudah dua bulan ini ia belum dapat pulang kampung, karena pasar sedang ramai menjelang pemilu.
Hampir seluruh kemaluan Martin membenam di vagina Yunita, sejenak mereka terdiam, masing-masing merasakan nikmatnya bersenggarama. Bagi Martin ini adalah kenikmatan yang tak terhingga yang pernah ia rasakan, karena selama ini paling-paling hanya sabun mandi, tetapi karena telah beberapa kali menonton film biru bersama-teman sesama penarik gerobak, atau pengalaman mengintip tetangga disekitar tempat ia mengontrak rumah dan karena nalurinya ia dapat menjalankan peran dengan baik.
Selang beberapa saat mulailah Martin menaik-turunkan tubuhnya menindih tubuh Yunita, bunyi kecipak karena beradunya kelamin mereka dan dengusan nafas keduanya semakin menambah sensasi bagi mereka. Suasana pagi menjelang siang, dimana matahari nampak mulai meninggi semakin menambah suhu didalam petakan Yunita dan sekaligus menambah gejolak birahi mereka. Memang seputar petakan Yunita pada jam-jam seperti ini terasa lebih sepi, karena sebagian besar anak-anak sedang bergelut dengan kegiatan sekolah, sementara orang tua mereka yang kebanyakan para pedagang dipasar, sedang belanja barang daganganya, paling-paling hanya beberapa anak yang belum sekolah yang tinggal dirumah atau sperti nenek tadi yang memberi tahu Martin bahwa Yunita ada di dalam petakannya.
Mas…mas..mas… ehm..ehh..ehh desahan Yunita semakin tidak menentu, hal ini semakin memacu birahi Martin, dari pelan kemudian sedang kemudian cepat secara berulang-ulang Martin menghujamkan kelaminnya kedalam vagina Yunita. Uhg..uhg..mba..mba..Martin mulai menimpali desahan Yunita diiringi dengan dengus nafasnya laksana banteng ketaton.
Terasa oleh Martin Yunita mengangkat tubuhnya semakin tinggi dan gerakan kepalanya kekiri dan kekanan semakin cepat ditambah lagi dengan desahannya yang semakin tidak menentu, menandakan puncak birahinya akan segera tercapai. Mas…mas..aku..aku..ahhhhhhhhh. akhirnya meletuslah lahar birahi kenikmatan Yunita. Kedua tangganya menarik kencang tubuh Martin agar menghimpit tubuhnya sambil menjerit perlahan menandakan kenikmatan yang tiada terkira.
Sementara Martin juga mulai merasakan hasratnya akan segera terpenuhi, dengan kecepatan maksimal ia mamacu menaikturunkan tubuhnya menindih tubuh Yunita yang nampak tak berdaya setelah mengalami orgasme. Keringat mengucur deras hari tubuh hitamnya eh..eh..ehhhhh aku keluar mba…ahhhh. Tak terbayangkan nikmat yang dirasakan Martin, terasa dari ujung jari kaki sambil keubun-ubun ia rasakan, sejenak ia terdiam dengan tetap menindih tubuh Yunita yang juga ikut menikmati semburan sperma Martin di rahimya. Nafas Martin tidak menentu, seluruh tenaganya terkuran diakhir permainan tadi.
Keduanya nampak terkulai lemas, setelah menikmati permainan mereka, Yunita nampak terdiam sementara Martin tidak tau apa yang harus ia ucapkan. Akhirnya keduanya tertidur dengan tubuh masih telanjang tanpa sehelai benangpun.
Yunite…Yunte….Yunte…sayup-sayup Yunita mendengan seorang memanggil namanya, antara sadar dan tidak sadar sperti bermimpi. Yunte…Yunte….Yunte kembali terdengan suara panggilan dengan logat Batak yang kental, keduanya terbangun Yunita tersentak begitu juga dengan Martin.
Setelah berulang kali barulah Yunita bangun membuka pintu petakan tempat tinggalnya, dengan pakaian sekenanya, yaitu kain jarik panjang yang biasa digunakan untuk membawa dagangannya, rupanya si Butet yang datang hendak menagih uang cicilan yang harian utang Yunita kepadanya. Butet layaknya bank keliling dipasa tempat Yunita berdagang, ia meminjamkan sejumlah uang kepada para pedangan dan dicicil setiap hari, minggu atau bulan tergantung perjanjian, jangan tanya soal besaran bunga, pasti lebih besar dari bank, tapi para pedangan lebih suka ke si Butet ketimbang ke Bank, karena prosedur mudah, cepat dan tidak perlu KTP, KK dan Slip Gaji (he..he.. pengalaman kredit di bank nih).
Ia menyodorkan uang Rp. 15.000 kepada si Butet.
”Siang-siang begini rupanya tidur kau” seru Butet masih dengan logat yang Batak yang kental.
Yunita hanya tersenyum sambil kembali menutup pintu, meninggalkan kebingunan Butet.
”Bah…malas kali kau rupanya” omel Butet.
Lain hal dengan Yunita, sejenak ia kembali ketempat mereka bertempur tadi, dikasur tipisnya tidak lagi ia temui Martin, tetapi hanya sebuah kaos kucel dan kusut berlambang caleg masih, kemanakah gerangan Martin. Belum hilang kebingungan Yunita, Martin muncul dari belakang lemari plastik bergambar kembang yang sudah bolong disana-sini milik Yunita. Rupanya Martin bersembunyi disana saat tadi si Butet datang, ia takut kalau-kalau butet melihatnya sedang berada di patakan Yunita, pasti kacau urusan.
Yunita memandang Martin yang muncul dari balik belakang lemari dengan pakaian setengah telajang dan menyadari kondisi tubuhnya yang masih tanpa mengenakan penutup kecuali jariknya. Barulah ia sadar akan apa yang terjadi, ia telah menghianati suami, telah menyerahkan sesuatu yang seharunya hanya ia berikan kepada suaminya tidak kepada Martin, menunduk ia sambil menangis.
Sementara Martin tidak tau apa yang harus dilakukan,
”maafkan aku mbak…maafkan aku, hanya itu yang keluar dari mulut Martin. Yunita masih saja tertunduk sambil menangis, keduan tangannya diletakkan diatas pahanya. ”Kamu nggak salah Martin, aku yang salah”. Keduanya kembali terdiam.
Martin mencoba kembali menbangun kekakuan suasana dengan mendatangi Yunita dan membelai rambutnya, lembut sekali Martin melakukan itu, berulang-ulang tangannya mengusap rambut Yunita, pundak dan belakang tubuh Yunita yang duduk menggeloso dilantai.
”aku minta maaf mba” sekali lagi Martin berucap lirih.
Yunita menjatuhkan kepalanya didada Martin sambil mengangkap kepalanya dan berucap sama sperti yang ia ucapkan tadi.
”Kita sama-sama bersalah Martin” tambahnya.
Seksi sekali bibir Yunita saat mengucapkan itu dimata Martin, ingin sekali ia mengecup bibir seksi itu, tapi ia masih ragu karena Yunita masih menenteskan air mata. Sementara belaian tangan Martin di kepala pundak dan belakang tubuhnya kembali mengusik birahi Yunita yang memang sudah lama tidak tersentuh suaminya. Setan terus menggoda membisikkan kata-kata birahi kepada keduanya.
Akhirnya Martin tak tahan dengan suasana dengan yakin ia mengecup bibir Yunita, apalagi ia merasakan ada reaksi di bibir dan tubuh Yunita, Martin semakin berani usapan pada tubuh bagian belakang belakang sampai kebelakang telinga, mau tidak mau membangkitkan kembali hasrat seksual Yunita, ia sedikit beringsuk kekiri meluruskan tubuhnya hingga berhadap-hadapan dengan Martin sambil tetap menerima rangsangan dari bibir Martin, tangannya mulai mencari apa yang seharusnya ia lakukan, mencari sesuatu diselangkangan Martin yang memang sudah kembali terbangun dan siap beraksi.
Tegang dan keras serta mengkilap dibagian kepala sesaat ia mencuri pandang saat Martin mengecup bibirnya. Martin agak terkejut dan sedikit mengangkat pantatnya manakala tangan Yunita menyentuh kelaminnya. Kini kecupannya tidak lagi di bibir Yunita tetapi sudah kepipi kemudian turun keleher dan sampailah pada bagian atas dada Yunita, terus turun diantara dua bukit kembar milik Yunita, tangan kirinya menggapai buah dada Yunita sebelah kiri sementara mulutnya mengecup halus puting susu Yunita sebelah kanan sambil menjilat dan mengigit secara lembut.
Yunita mendorong tubuhnya kemuka sementara tangan kirinya merapatkan kepala Martin dan menyodor kedua payudaranya. Tenggelam wajah Martin di dada Yunita, sementara tangan Yunita semakin keras mengenggam penis Martin sambil turus menaik-turunkan tangannya mengusap dan mengocok penis Martin. Beberapa lama aksi ini mereka lakukan, hingga akhirnya terdengar suara Yunita
“mas…mas…mas Martin sekarang, aku nggak tahan”. Yunita menrorong tubuh Yunita ke kasur tipis dengan kepalanya tetap payudara Yunita, yang mengikuti gerakan Martin menidurinya.
Penis Martin yang sudah menegang maksimal sementara vagina Yunita telah basah kuyup sejak sesekali tangan Martin menjamahnya, mudah bagi Martin memasukkan penisnya ke vagina Yunita, hangat ia rasakan menjalar dibatang kelaminnya. Sejenak berhenti, kemudian maju dan mundur secara berirama Martin menggenjot Yunita. Sementara Yunita begitu menikmatinya, kain jarik menutup tubuhnya tadi sudah tak tahu entah kemana, nikmat sekali ia rasakan sodokan Martin dikelaminnya, terus…terus…terus…ahh..ahh, ia mendesah tak teratur.
Birahi yang dibangkitkan Martin melalui penis, kecupan pada bibir dan payudara serta usapan pada belakang telinga dan bisikan-bisikan mesra yang diucapkan Martin membuat Yunita semakin mendekati puncak kenikmatan, ahh..ahh..ahhh..aku mau ssssaampaai..terusssss, makin tidak karuan ucapan Yunita. Hingga akhirnya meledaklah birahi Yunita diiringi dengan semakin maksimalnya hujaman-hujaman penis Martin yang juga akan sampai pada puncaknya.
Ahhhhhhh ….bersamaan mereka mencapai hasrat birahinya, nafas kedua memacu tak karuan sementaram keringat mengucur dari kedua tubuh mereka, Martin masih menindih tubuh Yunita, ketika ia sadar bahwa ia harus segera bekerja manarik gerobak sayurnya, sementara Yunita juga tersadar bahwa ia harus segera kelapak dagangnya. Akhirnya waktu menghentikan pertempuran mereka sebelum keluar dari petakan Yunita, Martin masih sembat mengecup bibir dan mengusap payudara Yunita. Sementara Yunita terseyum sambil memegang kedua payudaranya menyuguhkan kepada Martin seakan menantang.
Sejak kejadian itu mereka, beberapa kali kembali mengulanginya setiap ada kesempatan, kadang di petakan Yunita, kadang ditempat Martin, bahkan mereka pernah melakukannya di rel kerata api dilakang pasar tengan tetap berpakaian.
Pernah suatu ketika hasrat Yunita begitu menggebu, kebetulan pasar sudah mulai sepi karena sudah jam 1 dini hari, ia mengirim pesan pendek kepada Martin untuk segera menjumpainya ditempat ”biasa".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar